10.1.
Faktor-Faktor yang Berpotensi sebagai Pemicu Konflik
Dalam Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perbedaan pendapat dan perbedaan
kepentingan tidak bisa dihindari.
Perbedaan tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya perselisihan atau
konflik antarberbagai kelompok masyarakat.
Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang kiranya
dapat menyulut konflik dalam kehidupan organisasi subak.
10.1.1 Kelangkaan air
Kelangkaan
air merupakan faktor yang paling berpotensi menjadi sumber pemicu konflik.
Semakin langka air yang tersedia dalam suatu subak semakin sering terjadi
perselisihan yang berhubungan dengan pemnfaatan air. Anggota Subak yang sangat
kekurangan air akan tergoda untuk memanfaatkan air yang ada dengan cara-cara
yang dianggap melanggar aturan yang tertuang didalam awig-awig. Cara-cara
tersebut sebagai berikut:
a. Membuat
lubang didinding saluran sehingga air langsung dapat masuk ke sawah miliknya
sendiri.
b. Merusak
bangunan bagi(tembuku) terutama jika masih belum permanen sehingga mudah
dilubangi Sehingga akan membawa air kedalam sawah miliknya.
c. Menutup
tembuku milik anggota lain yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain.
10.1.2
Proyek-proyek pengembangan irigrasi
a.
Proyek penggabungan beberapa system irigrasi kecil menjadi satu kesatuan system
irigrasi yang lebih besar.
Pada awal mulanya masing-masing
subak telah memiliki empelan sendiri-sendiri, tetapi setelah penggabungan
semuanya harus mengambil air dari satu bangunan pengambilan (bendungan)
bersama. Proyek penggabungan system irigarasi ini ternyata kurang melibatkan
subak-subak terkait dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspirasi mereka
tidak tertampung.
Masalah yang paling mendasar adalah
menyangkut cara-cara pengalokasian dan pendistribusian air antar subak terkait.
Tidak kurang pentingnya adalah masalah pembagian tugas dan tanggung jawab dalam
kegiatan OP jaringan irigrasi(Sutawan, 1987 dan Sutawan, 1996)
b.
Bentuk bangunan pembagian air yang kurang menjamin rasa adil
Secara tradisional bentuk bangunan bagi
(tembuku) yang dipakai oleh subak adalah menurut model yang dikenal dengan
istilah numbak. Sistem numbak mulai diganti dengan bentuk bangunan yang
menyerupai kotak bersegi empat. Bentuk ini disebut dengan isitilah box tersier
(ngerirun). Perubahan bentuk bangunan bagi dari desain tradisional (numbak) ke
model ngerirun kurang dapat diterima petani. Sistem ngerirun sangat tidak adil
sebab ternyata lebih menguntungkan kelompok petani tertentu (Sutawan, 1991 :
63-64). Keadaan ini sangat berpeluang menimbulkan konflik.
10.1.3
Alih fungsi lahan sawah
Sawah
yang dialih fungsikan untuk bertanam tanaman tahunan seperti cengkeh, anggur,
jeruk dan lain-lain dapat juga menjadi penyebab konflik antara petani padi
sawah dengan petani yang mengalihfungsikan sawahnya. Sawah-sawah yang digunakan
untuk tanaman tahunan tidak banyak membutuhkan air. Akan tetapi saluran
irigrasi kadang-kadang masih berfungsi terutama untuk petani padi. Maka kondisi
ini dapat berdampak kurang baik bagi tanaman tahunan yang tidak banyak
membutuhkan air akibat rembesan air lewat saluran.
Kasus alih fungsi sawah kearah
penggunaan nonpertanian khususnya untuk pemukiman atau fasilitas umum lainnya,
rupanya banyak petani yang dirugikan. Saluran-saluran irigrasi tidak bisa
difungsikan lagi atau sudah ditutup. Keadaan ini dapat menimbulkan kekecewaan
bagi mereka yang masih bertani dan akhirnya dapat memicu kerawanan sosial.
10.1.4
Faktor-faktorlain yang berpotensi memicu konflik
Ada beberapa faktor di luar factor
diatas yang dapat memicu konflik antara anggota-anggota subak maupun antara
anggota subak dengan masayarakat luar subak. faktor tersebut antara lain:
a. Lemahnya
koordinasi antarinstansi yang menangani masalah sumberdaya air.
b. Masalah
talikunda dapat menjadi sumber
konflik antarpetani. Terutama talikunda
yang dibuat lebih dalam dari sawah petanidisebelahnya. Akibatnya air disawahnya
dapat merembes ke talikunda tersebut.
Hal ini dapat menimbulkan protes dari pemilik sawah disebelahnya.
c. Batas-batas
sawah yang tidak jelas anatara pemilik sawah satu dengan pemilik sawah lainnya.
d. Pola
tanam dan jadwal tanam yang melanggar kesepakatan bersama yang telah diatur
oleh awig-awig akan menimbulkan konflik didalam organisasi subak.
e. Pencemaran
air irigrasi akibat pembuangan sampah dan limbah oleh masyarakat secara
sembarangan.
10.2
Kasus-Kasus Konflik dalam Organisasi
Subak dan Cara-Cara Penyelesaiannya
Beberapa
kasus konflik yang terjadi sebagai akibat dari factor-faktor seperti terurai
didepan dapat dicatat antara lain sebagai berikut.
10.2.1.
Kasus konflik akibat kelangkaan air.
Air bukan saja dibutuhkan untuk
kegiatan pertanian tetapi juga untuk berbagai keperluan sesuai dengan tuntuan
dan pola kehidupan modern.
Pada tahun 1980-an di Buleleng
peernah terjadi konflik anatara subak-subak di sepanjang daerah aliran Sungai
Buleleng dengan pihak PDAM. Masalah pada kasus ini yaitu mengenai pengambilan
air yang di lakukan oleh PDAM mengakibatkan kelangkaan air pada petani
disekitarnya. Dimana mata air hamper mongering karena terjadi kerusakan di
daerah tangkapan (catchment area).
10.2.2.
Kasus konflik akibat proyek-proyek pengembangan irigrasi
1. Konflik
karena proyek-proyek penggabungan system irigrasi
Subak
Sungsang dan Subak Blumbang digabung menjadi satu system irigrasi terletak di
aliran Sungai Ho yang dinamakan DI Sungsang. Tahap konstruksi dari proyek ini
selesai pada tahun 1985. Hampir tiga tahun sejak selesainya proyek tersebut
ternyata system irigrasi penggabungan tidak berjalan sesuai dengan yang
direncanakan. Air hanya di manfaatkan oleh Subak Blumbang, sedangkan Subak
Sungsang terpaksa mengambil air dari empelan miliknya semula. Ini berarti
proyek hanya di manfaatkan oleh satu subak saja.
2. Konflik
karena perubahan desain bagunan pembagi air
Kebanyakan subak di Bali yang telah
mendapatkan bantuan proyek peningkatan jaringan tersier yang bangunan bagi
tradisionalnya (berbentuk numbak) diganti dengan bentuk ngengirun merasa tidak
puas. Alasannya antara lain: a) Pada waktu air besar, air melimpah akibat lebar
ambang dari bagunan bagi dengan bentuk yang menyerupai kotak tersebut menjadi
lebih sempit sehingga dapat merusak saluran. b) Kualitas bangunan kurang begitu
baik dibandingkan dengan yang telah dibangun oleh petani. c) Ambang pemasukan
yang arahnya ke samping karena terlalu sempit sering tersumbat sampah sehingga
air yang masuk berkurang.
Beberapa ilustrasi tentang kekecewaan
petani karena masalah pergantian bentuk bagunan bagi pernah terjadi misalnya di
Subak Celuk Gianyar dan Subak Tamanbali Bangli. Hal yang serupa juga ditemukan
pada subak-subak dalam lingkungan DI Sebatu, dan DI Gunung Sari Kabupaten
Gianyar.
10.2.3.
Kasus Konflik akibat alih fungsi lahan sawah
Banyak kejadian di mana subak-subak
yang sebagian dari areal persawahannya sudah dialih fungsikan menjadi perumahan
maupun fasilitas umum seperti jalan raya, dan lain-lain tidak bisa bertanam
padi karena saluran airnya tertutup akibat putusnya saluran irigrasi.
Kasus di Subak Sidayu, warga subak
protes atas tertimbunnya saluran irigrasi di Subak Lemek yang terkena proyek LC
( Land (consolidation). Subak Sidayu
tergantung pada air di saluran irigrasi Subak Lemek.
Kasus konflik lainnya yaitu terjadi
di Subak Gitgit, Buleleng. Alih funsi lahan dari tanaman padi ke tanaman
cengkeh yang anggotanya adalah yang mempunyai sawah berada di tempat yang
elevasinya relative tinggi. Sedangkan anggota-anggota yang masih bertahan untuk
bertanam padi saluran air irigrasinya melewati wilayah tanaman cengkeh. Tanaman
cengkeh tidak dapat tumbuh dengan baik akibat air rembesan dari saluran kuarter
tersebut. Pemilik cengkeh terpaksa menutup ambang bagunan bagi yang membawa air
ke saluran kuarter yang melintasi areal kebun cengkeh. Tentu ini menyebabkan
petani-petani padi berang yang menyulut konflik antara petani padi dengan
petani cengkeh.
10.2.4.
Kasus konflik akibat factor-faktor lain
·
Konflik karena pelnggaran jadwal tanam
dan pola tanam.
Perselisihan yang disebabkan karena
adanya pelanggaran jadwal tanam pernah terjadi, seperti di Subak Tangkub II,
sekitar bulan juli 1984 ada seorang anggota tempek dari subak bersangkutan
menanam padi lebih awal dari waktu yang telah ditentukan subak.
Kasus lainnya juga pernah terjadi di
beberapa subak yaitu Subak Benana, Di subak Selat dan Subak Pering yang
termasuk lingkungan wilayah pasedahan Yeh Pakerisan Teben, Gianyar.
·
Konflik akibat adanya pencemaran air
irigasi
Kasus –kasus konflik akibat
pencemaran air irigasi, umumnya sering terjadi di subak-subak yang letaknya
berdekatan dengan wilayah pemukiman. Misalnya, beberapa subak di daerah Tabanan
mengalami pencemaran air irigasi akibat kotoran ayam dan babi. Pembuangan
sampah sembarangan oleh penduduk dapat mengakibatkan drainase dan merugikan
petani.
·
Konflik akibat lemahnya koordinasi
antarinstansi
Kasus konflik karena tidak jelas
wewenang perizinan pemanfaatan air serta lemahnya koordinasi antarinstansi yang
menangani masalah sumberdaya air terjadi di daerah Grokgak, Buleleng Barat.
Subak-subak yang mengambil air dari Bendung Grokgak di sungai Sabha mengeluh
bahwa air dari bending ini mengecil akibat mata air di hulu bending di
manfaatkan oleh masyarakat luar organisasi subak.
·
Konflik karena adanya kecemburuan sosial
Sawah-sawah berteras memberikan pemandangan
yang sangat indah sehingga menjadi daya tarik wisatawan dari mancanegara.
Tetapi kondisi ini telah menciptakan kecemburuan social di kalangan petani
pemilik sawah-sawh tersebut. Mereka menganggap bahwa mereka telah dijadikan
“Sapi perahan” oleh pelaku-pelaku pariwisata.
Kasus ini terjadi di Desa
Tegallalang, tidak jauh dari Ubud, terdapat pemandangan sawah yang berteras.
Sering turis datang ketempat ini dengan diantar oleh pemandu wisata. Kekecawaan
petani didaerah ini atas “ketidakadilan” industry pariwisata dilampiaskan
dengan cara memasang atap seng dibeberapa titik areal persawahan. Tentu saja
hal ini membuat para turis tidak bisa menikmati keindahan sawah berteras
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar