Senin, 04 Februari 2013

Manajemen Konflik Dalam Organisasi Subak



 10.1. Faktor-Faktor yang Berpotensi sebagai Pemicu Konflik
            Dalam Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan tidak bisa dihindari.  Perbedaan tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya perselisihan atau konflik antarberbagai kelompok masyarakat.
            Berikut  ini akan diuraikan faktor-faktor yang kiranya dapat menyulut konflik dalam kehidupan organisasi subak.
10.1.1 Kelangkaan air
            Kelangkaan air merupakan faktor yang paling berpotensi menjadi sumber pemicu konflik. Semakin langka air yang tersedia dalam suatu subak semakin sering terjadi perselisihan yang berhubungan dengan pemnfaatan air. Anggota Subak yang sangat kekurangan air akan tergoda untuk memanfaatkan air yang ada dengan cara-cara yang dianggap melanggar aturan yang tertuang didalam awig-awig. Cara-cara tersebut sebagai berikut:
a.       Membuat lubang didinding saluran sehingga air langsung dapat masuk ke sawah miliknya sendiri.
b.      Merusak bangunan bagi(tembuku) terutama jika masih belum permanen sehingga mudah dilubangi Sehingga akan membawa air kedalam sawah miliknya.
c.       Menutup tembuku milik anggota lain yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain.

10.1.2 Proyek-proyek pengembangan irigrasi
a. Proyek penggabungan beberapa system irigrasi kecil menjadi satu kesatuan system irigrasi yang lebih besar.
            Pada awal mulanya masing-masing subak telah memiliki empelan sendiri-sendiri, tetapi setelah penggabungan semuanya harus mengambil air dari satu bangunan pengambilan (bendungan) bersama. Proyek penggabungan system irigarasi ini ternyata kurang melibatkan subak-subak terkait dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspirasi mereka tidak tertampung.
            Masalah yang paling mendasar adalah menyangkut cara-cara pengalokasian dan pendistribusian air antar subak terkait. Tidak kurang pentingnya adalah masalah pembagian tugas dan tanggung jawab dalam kegiatan OP jaringan irigrasi(Sutawan, 1987 dan Sutawan, 1996)

b. Bentuk bangunan pembagian air yang kurang menjamin rasa adil
            Secara tradisional bentuk bangunan bagi (tembuku) yang dipakai oleh subak adalah menurut model yang dikenal dengan istilah numbak. Sistem numbak mulai diganti dengan bentuk bangunan yang menyerupai kotak bersegi empat. Bentuk ini disebut dengan isitilah box tersier (ngerirun). Perubahan bentuk bangunan bagi dari desain tradisional (numbak) ke model ngerirun kurang dapat diterima petani. Sistem ngerirun sangat tidak adil sebab ternyata lebih menguntungkan kelompok petani tertentu (Sutawan, 1991 : 63-64). Keadaan ini sangat berpeluang menimbulkan konflik.

10.1.3 Alih fungsi lahan sawah
            Sawah yang dialih fungsikan untuk bertanam tanaman tahunan seperti cengkeh, anggur, jeruk dan lain-lain dapat juga menjadi penyebab konflik antara petani padi sawah dengan petani yang mengalihfungsikan sawahnya. Sawah-sawah yang digunakan untuk tanaman tahunan tidak banyak membutuhkan air. Akan tetapi saluran irigrasi kadang-kadang masih berfungsi terutama untuk petani padi. Maka kondisi ini dapat berdampak kurang baik bagi tanaman tahunan yang tidak banyak membutuhkan air akibat rembesan air lewat saluran.
            Kasus alih fungsi sawah kearah penggunaan nonpertanian khususnya untuk pemukiman atau fasilitas umum lainnya, rupanya banyak petani yang dirugikan. Saluran-saluran irigrasi tidak bisa difungsikan lagi atau sudah ditutup. Keadaan ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang masih bertani dan akhirnya dapat memicu kerawanan sosial.

10.1.4 Faktor-faktorlain yang berpotensi memicu konflik
            Ada beberapa faktor di luar factor diatas yang dapat memicu konflik antara anggota-anggota subak maupun antara anggota subak dengan masayarakat luar subak. faktor tersebut antara lain:
a.       Lemahnya koordinasi antarinstansi yang menangani masalah sumberdaya air.
b.      Masalah talikunda dapat menjadi sumber konflik antarpetani. Terutama talikunda yang dibuat lebih dalam dari sawah petanidisebelahnya. Akibatnya air disawahnya dapat merembes ke talikunda tersebut. Hal ini dapat menimbulkan protes dari pemilik sawah disebelahnya.
c.       Batas-batas sawah yang tidak jelas anatara pemilik sawah satu dengan pemilik sawah lainnya.
d.      Pola tanam dan jadwal tanam yang melanggar kesepakatan bersama yang telah diatur oleh awig-awig akan menimbulkan konflik didalam organisasi subak.
e.       Pencemaran air irigrasi akibat pembuangan sampah dan limbah oleh masyarakat secara sembarangan.

10.2 Kasus-Kasus Konflik dalam Organisasi Subak dan Cara-Cara Penyelesaiannya
Beberapa kasus konflik yang terjadi sebagai akibat dari factor-faktor seperti terurai didepan dapat dicatat antara lain sebagai berikut.
10.2.1. Kasus konflik akibat kelangkaan air.
            Air bukan saja dibutuhkan untuk kegiatan pertanian tetapi juga untuk berbagai keperluan sesuai dengan tuntuan dan pola kehidupan modern.
            Pada tahun 1980-an di Buleleng peernah terjadi konflik anatara subak-subak di sepanjang daerah aliran Sungai Buleleng dengan pihak PDAM. Masalah pada kasus ini yaitu mengenai pengambilan air yang di lakukan oleh PDAM mengakibatkan kelangkaan air pada petani disekitarnya. Dimana mata air hamper mongering karena terjadi kerusakan di daerah tangkapan (catchment area).

10.2.2. Kasus konflik akibat proyek-proyek pengembangan irigrasi

1.      Konflik karena proyek-proyek penggabungan system irigrasi
Subak Sungsang dan Subak Blumbang digabung menjadi satu system irigrasi terletak di aliran Sungai Ho yang dinamakan DI Sungsang. Tahap konstruksi dari proyek ini selesai pada tahun 1985. Hampir tiga tahun sejak selesainya proyek tersebut ternyata system irigrasi penggabungan tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Air hanya di manfaatkan oleh Subak Blumbang, sedangkan Subak Sungsang terpaksa mengambil air dari empelan miliknya semula. Ini berarti proyek hanya di manfaatkan oleh satu subak saja.
2.      Konflik karena perubahan desain bagunan pembagi air
            Kebanyakan subak di Bali yang telah mendapatkan bantuan proyek peningkatan jaringan tersier yang bangunan bagi tradisionalnya (berbentuk numbak) diganti dengan bentuk ngengirun merasa tidak puas. Alasannya antara lain: a) Pada waktu air besar, air melimpah akibat lebar ambang dari bagunan bagi dengan bentuk yang menyerupai kotak tersebut menjadi lebih sempit sehingga dapat merusak saluran. b) Kualitas bangunan kurang begitu baik dibandingkan dengan yang telah dibangun oleh petani. c) Ambang pemasukan yang arahnya ke samping karena terlalu sempit sering tersumbat sampah sehingga air yang masuk berkurang.
      Beberapa ilustrasi tentang kekecewaan petani karena masalah pergantian bentuk bagunan bagi pernah terjadi misalnya di Subak Celuk Gianyar dan Subak Tamanbali Bangli. Hal yang serupa juga ditemukan pada subak-subak dalam lingkungan DI Sebatu, dan DI Gunung Sari Kabupaten Gianyar.

10.2.3. Kasus Konflik akibat alih fungsi lahan sawah
            Banyak kejadian di mana subak-subak yang sebagian dari areal persawahannya sudah dialih fungsikan menjadi perumahan maupun fasilitas umum seperti jalan raya, dan lain-lain tidak bisa bertanam padi karena saluran airnya tertutup akibat putusnya saluran irigrasi.
            Kasus di Subak Sidayu, warga subak protes atas tertimbunnya saluran irigrasi di Subak Lemek yang terkena proyek LC ( Land (consolidation).  Subak Sidayu tergantung pada air di saluran irigrasi Subak Lemek.
            Kasus konflik lainnya yaitu terjadi di Subak Gitgit, Buleleng. Alih funsi lahan dari tanaman padi ke tanaman cengkeh yang anggotanya adalah yang mempunyai sawah berada di tempat yang elevasinya relative tinggi. Sedangkan anggota-anggota yang masih bertahan untuk bertanam padi saluran air irigrasinya melewati wilayah tanaman cengkeh. Tanaman cengkeh tidak dapat tumbuh dengan baik akibat air rembesan dari saluran kuarter tersebut. Pemilik cengkeh terpaksa menutup ambang bagunan bagi yang membawa air ke saluran kuarter yang melintasi areal kebun cengkeh. Tentu ini menyebabkan petani-petani padi berang yang menyulut konflik antara petani padi dengan petani cengkeh.

10.2.4. Kasus konflik akibat factor-faktor lain
·         Konflik karena pelnggaran jadwal tanam dan pola tanam.
            Perselisihan yang disebabkan karena adanya pelanggaran jadwal tanam pernah terjadi, seperti di Subak Tangkub II, sekitar bulan juli 1984 ada seorang anggota tempek dari subak bersangkutan menanam padi lebih awal dari waktu yang telah ditentukan subak.
            Kasus lainnya juga pernah terjadi di beberapa subak yaitu Subak Benana, Di subak Selat dan Subak Pering yang termasuk lingkungan wilayah pasedahan Yeh Pakerisan Teben, Gianyar.
·         Konflik akibat adanya pencemaran air irigasi
            Kasus –kasus konflik akibat pencemaran air irigasi, umumnya sering terjadi di subak-subak yang letaknya berdekatan dengan wilayah pemukiman. Misalnya, beberapa subak di daerah Tabanan mengalami pencemaran air irigasi akibat kotoran ayam dan babi. Pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk dapat mengakibatkan drainase dan merugikan petani.
·         Konflik akibat lemahnya koordinasi antarinstansi
            Kasus konflik karena tidak jelas wewenang perizinan pemanfaatan air serta lemahnya koordinasi antarinstansi yang menangani masalah sumberdaya air terjadi di daerah Grokgak, Buleleng Barat. Subak-subak yang mengambil air dari Bendung Grokgak di sungai Sabha mengeluh bahwa air dari bending ini mengecil akibat mata air di hulu bending di manfaatkan oleh masyarakat luar organisasi subak.
·         Konflik karena adanya kecemburuan sosial
            Sawah-sawah berteras memberikan pemandangan yang sangat indah sehingga menjadi daya tarik wisatawan dari mancanegara. Tetapi kondisi ini telah menciptakan kecemburuan social di kalangan petani pemilik sawah-sawh tersebut. Mereka menganggap bahwa mereka telah dijadikan “Sapi perahan” oleh pelaku-pelaku pariwisata.
            Kasus ini terjadi di Desa Tegallalang, tidak jauh dari Ubud, terdapat pemandangan sawah yang berteras. Sering turis datang ketempat ini dengan diantar oleh pemandu wisata. Kekecawaan petani didaerah ini atas “ketidakadilan” industry pariwisata dilampiaskan dengan cara memasang atap seng dibeberapa titik areal persawahan. Tentu saja hal ini membuat para turis tidak bisa menikmati keindahan sawah berteras tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar