Senin, 04 Februari 2013

Laporan Praktikum Sistem Irigasi Subak Lod Tunduh



Praktikum sistem irigasi subak bertempat di Subak Lod Tunduh yang di laksanakan pada tanggal 4 November 2012, Subak Lod Tunduh berada di Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Luas subak Lod Tunduh sekitar 25 ha dengan anggota berjumlah sekitar 70 orang petani. Namun dari 70 anggota tersebut ada sebagai anggota aktif, pasif dan leluputan. Subak Lod Tunduh adalah subak yang berada paling hulu, airnya berasal dari sungai Ayung yang dibendung untuk mengairi subak Lod Tunduh paling pertama. Keadaan subak Lod Tunduh yang tidak terlalu luas maka kepengurusan organisasi subak hanya terdiri dari kelian subak (pekaseh) yaitu  Bapak Ketut Suar dengan  wakilnya yaitu Bapak Miasa. Subak Lod Tunduh mempunyai sebuah pura yang bernama pura Ulun Carik. Pura Ulun Carik sebagai tempat berlangsungnya aktivitas spiritual. Berlangsungnya aktivitas spiritual tersebut dilaksanakan secara individu dan bersama- sama. Biasanya yang dilakukan secara individu di lakukan setiap menanam padi sampai panen dan secara bersamaan dilaksanakan secara bersama-sama antara lain acara nyusung dan biodalan. Subak Lod Tunduh merupakan salah satu subak yang mampu menjaga kelestarian lingkungan dan keharmonisan krama subaknya. Semua krama subak Lod Tunduh memiliki prinsip dan perjanjian tidak akan menjual lahan sawahnya jika dialih fungsikan sebagai bangunan. Batas-batas subak Lod Tunduh adalah dengan di batasi oleh sungai, hutan dan pura.
Bangunan fisik Subak Lod Tunduh adalah sebagai berikut :
v  Pura Labaan
Pura Labaan adalah pura yang disungsung oleh subak gede yang terdiri dari 30 subak. Subak Lod Tunduh merupakan salah satu subak yang menyungsung pura Labaan tersebut. Pura labaan dijadikan sebagai tempat pertemuan seluruh anggota subak gede. Tujuannya agar antar pengurus masing-masing subak bisa saling bertukar pikiran demi terciptanya keharmonisan antar anggota subak gede guna mengantisipasi munculnya konflik.
v  Bendungan/ bangunan bagi I
Bendungan/Bangunan bagi I merupakan saluran primer. Saluran primer mempunyai nama yaitu sungai lauh. Sungai lauh adalah sungai ayung yang di bendung dan airnya dibawa ke saluran primer, sehingga namanya menjadi sungai lauh. Air pada sungai lauh mengairi 3300 hektar sawah di tiga kabupaten di Bali. Dalam bangunan bagi satu sungai lauh airnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu saluran paling timur untuk mengairi sawah di daerah Kabupaten Gianyar, di tengah untuk mengairi daerah kota Denpasar dan paling barat untuk mengairi daerah Kabupaten Badung.
v  Terowongan
Terowongan di sungai lauh terdapat pada saluran sekunder, panjang terowongan tersebut sekitar 200 meter. Sedangkan tinggi terowongan dibuat diatas rata-rata tinggi anggota subak  dengan bentuk setengah lingkaran, tujuannya adalah dalam pemeliharaan terowongan dapat dilakukan dengan leluasa dan menggunakan peralatan yang sederhana. Pada bagian atas terowongan dibuat melengkung agar ada udara di atas permukaan air pada terowongan. Sehingga apabila terjadi banjir air tetap dapat mengalir.
v  Bangunan Pelimpah
Bangunan pelimpah adalah untuk mengalirkan sisa-sisa air dari subak di hulu yang tidak digunakan lagi, sehingga air tersebut dialirkan kembali ke sungai. Maka air tersebut dapat digunakan oleh subak lain yang berada lebih di hilir. Air subak di Bali tidak ada yang terbuang semuanya berguna dan pada akhirnya menuju ke laut. Semuanya berkaitan satu sama lain sehingga di sebut suatu sistem.
v  Bangunan bagi II
Bangunan bagi II (sekunder) untuk membagi air dari saluran sekunder menuju ke saluran tersier. Saluran tersier merupakan saluran yang mengairi subak Lod Tunduh karena subak ini berada paling hulu dari sistem irigasi. Bendung ini dibangun pada saat berada di tikungan, tujuannya adalah agar pasir, sampah maupun lumpur mengendap karena adanya daya sentripurgal dan tidak masuk ke saluran berikutnya.
v  Pura Subak
Subak memiliki beberapa pura yang di sung-sung oleh seluruh anggota subak Lod Tunduh. Baik pura bersama maupun pura perorangan, pura yang dipuja/disungsung bersama yaitu pura Subak ulun carik, Pura Bedugul, Pura Ulun Suwi dan lain-lain. Sedangkan pura yang dimiliki petani perorangan yaitu sanggah catu atau sanggah pengalapan. Hal ini termasuk kedalam kearifan lokal masyarakat Bali yang bersumber pada dasar falsafah Tri Hita karana. Di samping pura subak terdapat bale subak untuk rapat formal dan bale timbang yang berfungsi untuk rapat informal.


v  Saluran Bagi di tingkat tersier
Saluran bagi di tingkat tersier adalah bangunan yang telah di lebarkan dari bangunan yang lebih sempit. Kemudian airnya di bagi secara proporsional yaitu 1:5 maksudnya satu aliran  untuk satu petani dan lima aliran untuk lima petani . Air yang masuk ke areal sawah melalui one inlet system di keluarkan melalui one onlet system kemudian dilanjutkan ke saluran berikutnya. Dari pengaturan pengairan menggunakan system inlet dan onlet maka petani dapat melakukan diverfikasi tanaman pada lahannya. keuntungan lainnya petani dapat saling pinjam meminjan air. Subak ini tidak mementingkan keefisiensi tetapi memntingkan keefektifan subak.

Gambar
1.      Bangunan bagi 1(saluran primer)       2. Terowongan                        3.Bangunan pelimpah
                         
4. Bangunan bagi II (saluran sekunder)              5. Pura subak Lod Tunduh    
                           

Manajemen Konflik Dalam Organisasi Subak



 10.1. Faktor-Faktor yang Berpotensi sebagai Pemicu Konflik
            Dalam Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan tidak bisa dihindari.  Perbedaan tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya perselisihan atau konflik antarberbagai kelompok masyarakat.
            Berikut  ini akan diuraikan faktor-faktor yang kiranya dapat menyulut konflik dalam kehidupan organisasi subak.
10.1.1 Kelangkaan air
            Kelangkaan air merupakan faktor yang paling berpotensi menjadi sumber pemicu konflik. Semakin langka air yang tersedia dalam suatu subak semakin sering terjadi perselisihan yang berhubungan dengan pemnfaatan air. Anggota Subak yang sangat kekurangan air akan tergoda untuk memanfaatkan air yang ada dengan cara-cara yang dianggap melanggar aturan yang tertuang didalam awig-awig. Cara-cara tersebut sebagai berikut:
a.       Membuat lubang didinding saluran sehingga air langsung dapat masuk ke sawah miliknya sendiri.
b.      Merusak bangunan bagi(tembuku) terutama jika masih belum permanen sehingga mudah dilubangi Sehingga akan membawa air kedalam sawah miliknya.
c.       Menutup tembuku milik anggota lain yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain.

10.1.2 Proyek-proyek pengembangan irigrasi
a. Proyek penggabungan beberapa system irigrasi kecil menjadi satu kesatuan system irigrasi yang lebih besar.
            Pada awal mulanya masing-masing subak telah memiliki empelan sendiri-sendiri, tetapi setelah penggabungan semuanya harus mengambil air dari satu bangunan pengambilan (bendungan) bersama. Proyek penggabungan system irigarasi ini ternyata kurang melibatkan subak-subak terkait dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspirasi mereka tidak tertampung.
            Masalah yang paling mendasar adalah menyangkut cara-cara pengalokasian dan pendistribusian air antar subak terkait. Tidak kurang pentingnya adalah masalah pembagian tugas dan tanggung jawab dalam kegiatan OP jaringan irigrasi(Sutawan, 1987 dan Sutawan, 1996)

b. Bentuk bangunan pembagian air yang kurang menjamin rasa adil
            Secara tradisional bentuk bangunan bagi (tembuku) yang dipakai oleh subak adalah menurut model yang dikenal dengan istilah numbak. Sistem numbak mulai diganti dengan bentuk bangunan yang menyerupai kotak bersegi empat. Bentuk ini disebut dengan isitilah box tersier (ngerirun). Perubahan bentuk bangunan bagi dari desain tradisional (numbak) ke model ngerirun kurang dapat diterima petani. Sistem ngerirun sangat tidak adil sebab ternyata lebih menguntungkan kelompok petani tertentu (Sutawan, 1991 : 63-64). Keadaan ini sangat berpeluang menimbulkan konflik.

10.1.3 Alih fungsi lahan sawah
            Sawah yang dialih fungsikan untuk bertanam tanaman tahunan seperti cengkeh, anggur, jeruk dan lain-lain dapat juga menjadi penyebab konflik antara petani padi sawah dengan petani yang mengalihfungsikan sawahnya. Sawah-sawah yang digunakan untuk tanaman tahunan tidak banyak membutuhkan air. Akan tetapi saluran irigrasi kadang-kadang masih berfungsi terutama untuk petani padi. Maka kondisi ini dapat berdampak kurang baik bagi tanaman tahunan yang tidak banyak membutuhkan air akibat rembesan air lewat saluran.
            Kasus alih fungsi sawah kearah penggunaan nonpertanian khususnya untuk pemukiman atau fasilitas umum lainnya, rupanya banyak petani yang dirugikan. Saluran-saluran irigrasi tidak bisa difungsikan lagi atau sudah ditutup. Keadaan ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang masih bertani dan akhirnya dapat memicu kerawanan sosial.

10.1.4 Faktor-faktorlain yang berpotensi memicu konflik
            Ada beberapa faktor di luar factor diatas yang dapat memicu konflik antara anggota-anggota subak maupun antara anggota subak dengan masayarakat luar subak. faktor tersebut antara lain:
a.       Lemahnya koordinasi antarinstansi yang menangani masalah sumberdaya air.
b.      Masalah talikunda dapat menjadi sumber konflik antarpetani. Terutama talikunda yang dibuat lebih dalam dari sawah petanidisebelahnya. Akibatnya air disawahnya dapat merembes ke talikunda tersebut. Hal ini dapat menimbulkan protes dari pemilik sawah disebelahnya.
c.       Batas-batas sawah yang tidak jelas anatara pemilik sawah satu dengan pemilik sawah lainnya.
d.      Pola tanam dan jadwal tanam yang melanggar kesepakatan bersama yang telah diatur oleh awig-awig akan menimbulkan konflik didalam organisasi subak.
e.       Pencemaran air irigrasi akibat pembuangan sampah dan limbah oleh masyarakat secara sembarangan.

10.2 Kasus-Kasus Konflik dalam Organisasi Subak dan Cara-Cara Penyelesaiannya
Beberapa kasus konflik yang terjadi sebagai akibat dari factor-faktor seperti terurai didepan dapat dicatat antara lain sebagai berikut.
10.2.1. Kasus konflik akibat kelangkaan air.
            Air bukan saja dibutuhkan untuk kegiatan pertanian tetapi juga untuk berbagai keperluan sesuai dengan tuntuan dan pola kehidupan modern.
            Pada tahun 1980-an di Buleleng peernah terjadi konflik anatara subak-subak di sepanjang daerah aliran Sungai Buleleng dengan pihak PDAM. Masalah pada kasus ini yaitu mengenai pengambilan air yang di lakukan oleh PDAM mengakibatkan kelangkaan air pada petani disekitarnya. Dimana mata air hamper mongering karena terjadi kerusakan di daerah tangkapan (catchment area).

10.2.2. Kasus konflik akibat proyek-proyek pengembangan irigrasi

1.      Konflik karena proyek-proyek penggabungan system irigrasi
Subak Sungsang dan Subak Blumbang digabung menjadi satu system irigrasi terletak di aliran Sungai Ho yang dinamakan DI Sungsang. Tahap konstruksi dari proyek ini selesai pada tahun 1985. Hampir tiga tahun sejak selesainya proyek tersebut ternyata system irigrasi penggabungan tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Air hanya di manfaatkan oleh Subak Blumbang, sedangkan Subak Sungsang terpaksa mengambil air dari empelan miliknya semula. Ini berarti proyek hanya di manfaatkan oleh satu subak saja.
2.      Konflik karena perubahan desain bagunan pembagi air
            Kebanyakan subak di Bali yang telah mendapatkan bantuan proyek peningkatan jaringan tersier yang bangunan bagi tradisionalnya (berbentuk numbak) diganti dengan bentuk ngengirun merasa tidak puas. Alasannya antara lain: a) Pada waktu air besar, air melimpah akibat lebar ambang dari bagunan bagi dengan bentuk yang menyerupai kotak tersebut menjadi lebih sempit sehingga dapat merusak saluran. b) Kualitas bangunan kurang begitu baik dibandingkan dengan yang telah dibangun oleh petani. c) Ambang pemasukan yang arahnya ke samping karena terlalu sempit sering tersumbat sampah sehingga air yang masuk berkurang.
      Beberapa ilustrasi tentang kekecewaan petani karena masalah pergantian bentuk bagunan bagi pernah terjadi misalnya di Subak Celuk Gianyar dan Subak Tamanbali Bangli. Hal yang serupa juga ditemukan pada subak-subak dalam lingkungan DI Sebatu, dan DI Gunung Sari Kabupaten Gianyar.

10.2.3. Kasus Konflik akibat alih fungsi lahan sawah
            Banyak kejadian di mana subak-subak yang sebagian dari areal persawahannya sudah dialih fungsikan menjadi perumahan maupun fasilitas umum seperti jalan raya, dan lain-lain tidak bisa bertanam padi karena saluran airnya tertutup akibat putusnya saluran irigrasi.
            Kasus di Subak Sidayu, warga subak protes atas tertimbunnya saluran irigrasi di Subak Lemek yang terkena proyek LC ( Land (consolidation).  Subak Sidayu tergantung pada air di saluran irigrasi Subak Lemek.
            Kasus konflik lainnya yaitu terjadi di Subak Gitgit, Buleleng. Alih funsi lahan dari tanaman padi ke tanaman cengkeh yang anggotanya adalah yang mempunyai sawah berada di tempat yang elevasinya relative tinggi. Sedangkan anggota-anggota yang masih bertahan untuk bertanam padi saluran air irigrasinya melewati wilayah tanaman cengkeh. Tanaman cengkeh tidak dapat tumbuh dengan baik akibat air rembesan dari saluran kuarter tersebut. Pemilik cengkeh terpaksa menutup ambang bagunan bagi yang membawa air ke saluran kuarter yang melintasi areal kebun cengkeh. Tentu ini menyebabkan petani-petani padi berang yang menyulut konflik antara petani padi dengan petani cengkeh.

10.2.4. Kasus konflik akibat factor-faktor lain
·         Konflik karena pelnggaran jadwal tanam dan pola tanam.
            Perselisihan yang disebabkan karena adanya pelanggaran jadwal tanam pernah terjadi, seperti di Subak Tangkub II, sekitar bulan juli 1984 ada seorang anggota tempek dari subak bersangkutan menanam padi lebih awal dari waktu yang telah ditentukan subak.
            Kasus lainnya juga pernah terjadi di beberapa subak yaitu Subak Benana, Di subak Selat dan Subak Pering yang termasuk lingkungan wilayah pasedahan Yeh Pakerisan Teben, Gianyar.
·         Konflik akibat adanya pencemaran air irigasi
            Kasus –kasus konflik akibat pencemaran air irigasi, umumnya sering terjadi di subak-subak yang letaknya berdekatan dengan wilayah pemukiman. Misalnya, beberapa subak di daerah Tabanan mengalami pencemaran air irigasi akibat kotoran ayam dan babi. Pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk dapat mengakibatkan drainase dan merugikan petani.
·         Konflik akibat lemahnya koordinasi antarinstansi
            Kasus konflik karena tidak jelas wewenang perizinan pemanfaatan air serta lemahnya koordinasi antarinstansi yang menangani masalah sumberdaya air terjadi di daerah Grokgak, Buleleng Barat. Subak-subak yang mengambil air dari Bendung Grokgak di sungai Sabha mengeluh bahwa air dari bending ini mengecil akibat mata air di hulu bending di manfaatkan oleh masyarakat luar organisasi subak.
·         Konflik karena adanya kecemburuan sosial
            Sawah-sawah berteras memberikan pemandangan yang sangat indah sehingga menjadi daya tarik wisatawan dari mancanegara. Tetapi kondisi ini telah menciptakan kecemburuan social di kalangan petani pemilik sawah-sawh tersebut. Mereka menganggap bahwa mereka telah dijadikan “Sapi perahan” oleh pelaku-pelaku pariwisata.
            Kasus ini terjadi di Desa Tegallalang, tidak jauh dari Ubud, terdapat pemandangan sawah yang berteras. Sering turis datang ketempat ini dengan diantar oleh pemandu wisata. Kekecawaan petani didaerah ini atas “ketidakadilan” industry pariwisata dilampiaskan dengan cara memasang atap seng dibeberapa titik areal persawahan. Tentu saja hal ini membuat para turis tidak bisa menikmati keindahan sawah berteras tersebut.

SUBAK YANG BERLANDASKAN TRI HITA KARANA



I.       Subak, Tri Hita Karana dan Permasalahannya.
1.1     Pengertian Subak
                  Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigrasi di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam peraturan daerah pemerintah daerah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972.
   Gatra religious pada sistem irigrasi subak merupakan cerminan konsep THK yang pada hakekatnya terdiri dari gatra parhyangan yang ditunjuk dengan adanya pura disetiap wilayah subak, gatra palemahan ditunjuk dengan adanya kepemilikan wilayah disetiap subak, dan gatra pawongan ditunjuk dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, anggota subak, pengurus subak dan pimpinan subak.
1.2        Keberadaan Sistem Irigrasi Subak di Bali
           Keberadaan sistem irigrasi subak, tidak terlepas dari peranan raja-raja di Bali. Keberadaan sistem irigrasi subak tersebut  telah didahului sebelumnya oleh keberadaan sistem pertanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678 (wardha,1989; dan Arfian 1989).
Keberadaan sistem irigrasi subak di Bali antara lain: cakupan pengelolaan sistem subak, Kelembagaan Sistem Subak, Kewenangan pengelolaan palemahan sistem subak, dan Stakeholders sistem subak
1.3              Wujud Tri Hita Karana dalam sistem irigrasi subak di Bali
a.       Subsistem Budaya
air dianggap sangat bernilai&dihormati merupakan ciptaan Tuhan YME. Oleh karena itu, subak menyelenggarakan upacara mendak toyo (menjemput air).
b.      Subsistem Sosial
Dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat(petani) setempat dan adanya awig-awig yang mengatur organisasi subak tersebut.
c.       Subsistem artefak/kebendaan
Dicerminkan dengan ketersedian sarana jaringan irigrasi yang sepadan dengan kebutuhan organisasi subak, yang memungkinkan pembagian air secara adil, dan proses saling meminjam air irigrasi dapat dilaksanakan dengan cepat.
Komentar: Pada Bab 1, penjelasan akan subak sudah sangat terinci dan mudah untuk dipahami.
II.             Subak dan Usaha-usaha Pelestarian
2.1  Subak dan Tri Hita Karana (THK)
Sistem subak di Bali berkembang pada tahun 1071, yang membuktikan subak telah terkenal dengan sebutan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah tiga kebahagian, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian.
2.2  Usaha-usaha Pelestarian Sistem Irigrasi Subak
Usaha pelestarian terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya air di Bali melalui sistem subak telah lama mendapatkan perhatian. Usaha keharmonisan pada sistem subak akan tetap terjamin, bila perubahan/pengembangan salah satu komponen THK yakni palemahan, Pawongan dan parhyangan.
Komentar: Pada bab ini, usaha-usaha pelstarian belum dijelaskan secara spesifik lagi, dan tidak adanya contoh penerapan usaha tersebut, maka sulit untuk dimengerti.
III.             Subak Sebagai Teknologi Sepadan dalam Pertanian Beririgrasi
           Subak pada hakekatnya merupakan teknologi sepadan, karena sifatnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya(1985). Peran subak sebagai teknologi sepadan bisa  diamati dengan konsep pola pikir, sosial dan artefak.
Komentar: Bab 3 menurut saya, sudah sangat bagus isinya, karena dalam pembahasan materi pada bab ini telah disertakan grafik-grafik. sehingga dapat membantu dalam proses perkuliahan dan praktik.
IV.             Subak dan Landasan Teori Transformasi
           Sistem Subak yang berlandaskan THK akan di tranformasikan dengan syarat luaran atau tujuan sistem irigrasi subak yang melakukan pengelolaan dan pelayanan irigrasi berdasarkan harmoni, dan kebersamaan, tidak mengalami perubahan yang nyata.
Subak telah menjadi fenomena budaya masyarakat, juga telah terbukti mampu menerima proses transformasi internal sebagai pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Diantaranya adalah tentang kemampuan menyerap dinamika perkembangan teknologi, dan kemampuannya menyerap perkembangan dinamika petani.
Komentar: Pada bab ini, kurang diberikannya contoh permasalahan untuk memperhitungan landasan teori transformasi, sehingga kurang untuk dipahami.
V.                Beberapa Kasus Tentang Kemampuan Transformasi Sistem Subak
           Sistem irigrasi subak pada hakekatnya memiliki keunggulan, karena sifatnya yang spesifik dan secara teknis telah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat. Maka sistem ini relevan untuk di transformasikan. Kelemahan dari sifatnya yang spesifik yaitu dalam hal kemampuan untuk bertahan terhadap perubahan-perubahan yang sifatnya fisik maupun kehidupan masyarakat sekitarnya yang berkembang cepat. Transformasi yang dapat terus diperbaiki adalah kelembagaan sistem irigrasi yang ada, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja sistem irigrasi subak.
Komentar: Dalam bab V, hanya diberikan satu kasus saja dan tidak diberikan penjelsan tentang perubahan-perubahan fisik yang akan mengganggu proses transformasi sistem subak.
VI.             Esensi Subtansi Transformasi Sistem Irigrasi Subak
·        Esensi subtansi mencakup antara lain:
-          subak merupakan teknologi sepadan bagi anggota subak
-          Pemahaman terhadap pembuatan bangunan fisik dan jaringan fisik irigasi
-          Pemeliharaan dan cara pengoperasian bangunan serta jaringan irigasi yang berpedoman pada keserasian hidup sesuai dengan THK.
-          Masyarakat anggota subak memahami dan menghayati keunggulan dan kelemahan sistem irigasi.
-          Untuk menjaga kelestarian daya dukung lingkungan, suatu subak tertentu bergabung dengan subak lain disekitarnya yang memiliki kaitan jaringan irigasi.
-          Sistem irigasi subak memiliki peluang untuk ditransformasikan ke wilayah lain.
-          Tingkat peluang transformasi dari subak-subak sampel menunjukkan tingkat kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang semakin kompleks.
Komentar: Dalam bab terakhir ini membahas tentang kesimpulan dari bab 1 hingga bab 5, sehingga kita bisa mengambil point-point penting dari bab ini. Dengan adanya bab ini, maka kita bisa mengetahui dan menindak lanjuti bagaimana proses transformasi sisten irigrasi subak tersebut.